Minggu, 13 November 2011

Bolehkah Menikahi Wanita Ahlul Kitab?

Bolehkah Menikahi Wanita Ahlul Kitab?
(Dijawab oleh: al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari)

Bolehkah menikah dengan wanita-wanita dari kalangan Ahlul Kitab?

Muhammad Pandi
sup…@yahoo.com
Dijawab oleh:
al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah, yang menjadi landasan dalam masalah ini adalah firman Allah l dalam surat al-Ma’idah ayat 5:
“Pada hari ini dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik dan sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kalian serta sembelihan kalian halal bagi mereka. Begitu pula al-muhshanat (wanita merdeka yang menjaga kehormatan) dari kaum mukminat dan al-muhshanat dari Ahlul Kitab sebelum kalian (halal bagi kalian) jika kalian memberikan maharnya (dengan pernikahan).”
Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini:
1.    Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil.
Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Imam asy-Syafi’i t, sebagaimana dinukilkan oleh al-Baihaqi t dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309). Beliau berkata, “Siapa pun yang berasal dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani maka wanitanya boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Sedangkan siapa pun yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125)
2.    Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nasrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, yang dia mentauhidkan Allah l dan tidak berbuat syirik.
Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa bila dia Yahudiyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia Nashraniyah (beragama Nasrani).
Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat al-Baqarah:
“Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (al-Baqarah: 221)
Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah l maka dia haram untuk dinikahi, meskipun dia Yahudi atau Nasrani. Adapun bila dia mentauhidkan Allah l meskipun dia tidak beriman kepada Al-Qur’an dan Nabi Muhammad n maka dia halal untuk dinikahi. (asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar)
3.    Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, baik dari kalangan Bani Israil maupun yang lainnya, baik dia mengikuti agama Yahudi atau Nasrani yang murni dan mentauhidkan Allah l, maupun mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah l. Semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.
Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaukani t dalam Fathul Qadir (2/15), asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t dalam Taisirul Karimir Rahman (hlm. 221—222), dan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/218).
Pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah, dengan dalil-dalil berikut.

a.    Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaukani.
b.    Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat al-Baqarah:
karena Allah l menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah l juga menerangkan tentang kesyirikan serta kekufuran mereka sebagaimana dalam surat al-Ma’idah ayat 72—73, dan surat at-Taubah ayat 30 ketika Nashara mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah l dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah l. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
c.    Dalam hadits Abu Sufyan z yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah n mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran. Jadi, Rasulullah n menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nasrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38—39)
Kemudian para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan al-muhshanat dalam ayat di atas.
1.    Yang dimaksud adalah afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina), maka tidak boleh menikahi wanita-wanita fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Jadi masuk di dalamnya seluruh Ahlul Kitab baik merdeka maupun budak, asalkan dia afifah. Ibnu Jarir t menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama Salaf (lihat Fathul Qadir).
2.    Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak). Ini adalah pendapat jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t. Mereka berdalilkan dengan firman Allah l dalam surat an-Nisa’ ayat 25:
“Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”
Sisi pendalilannya adalah ketika Allah l mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan materi untuk menikahi wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan, dan ia merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri) sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka Allah l membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak beriman. Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah l:
“Lelaki pezina tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3)
Pendapat ini dirajihkan oleh as-Sa’di dan al-Utsaimin, dan inilah yang rajih, wallahu a’lam.
Asy-Syaikh Muqbil t dalam kitabnya Ijabatus Sa’il (hlm. 614—615) menegaskan bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam, karena dia masih kafir.
Akan tetapi, yang dituntut darinya adalah senantiasa memiliki iffah. Dinasihatkan bagi sang suami untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya, karena seorang suami memiliki pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri telanjur mencintai suaminya, biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.
Begitu pula, asy-Syaikh Muqbil t menasihatkan dalam Ijabatus Sa’il (hlm. 531), bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak menikahi Yahudiyah atau Nashraniyah. Terlebih jika di negeri tersebut, Yahudi atau Nasrani lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan memengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nasrani.
Saya (penulis) tambahkan: Atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.

Catatan: Hukum ini tidak berlaku sebaliknya. Wanita muslimah yang menikah dengan pria kafir hukumnya telah jelas, yakni haram.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;