Pengertian Sutrah
Sutrah
adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang, apa pun
bentuk/jenisnya. Sutrah orang yang shalat adalah apa yang ditancapkan
dan dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika
hendak mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya
yang sudah ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna
mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia sedang
shalat. Sutrah harus ada di hadapan orang yang sedang shalat karena
dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allahl. Sehingga,
bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut
serta mengganggu hubungan ia dengan Allah l dalam shalatnya. Oleh
sebab itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah
melakukan dosa yang besar. (Al-Mausu’atul Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam, 2/58)
Hukum Sutrah
Hukum
sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara yang berpendapat wajib
dengan yang berpendapat sunnah. Jumhur ulama berpendapat hukumnya
sunnah, sehingga berdasarkan pendapat ini bila ada yang lewat di
hadapan orang yang shalat sementara tidak ada sutrah di hadapannya
tidaklah membatalkan shalatnya1, namun hanya mengurangi (nilai)
shalatnya. Di samping itu, sutrah merupakan penyempurna shalat yang
dikerjakan, ia tidak masuk dalam amalan shalat. Dengan begitu, hal ini
merupakan indikasi (qarinah) yang mengeluarkan perkaranya dari wajib
kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumti’1/728, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58).
Pendapat jumhur ini berdalil dengan:
- Hadits Abu Sa’id Al-Khudri z secara marfu’:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ
أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبى
فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila
salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa
menghalanginya dari manusia, lalu ada seseorang ingin lewat di
hadapannya, hendaknya ia menolak/mencegahnya. Bila orang yang hendak
lewat itu enggan tetap memaksa untuk lewat maka hendaknya ia
memeranginya karena dia itu setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim
no. 1129)
Ucapan
Rasulullah n: “Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap
sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia,” menunjukkan bahwa orang
yang shalat bisa jadi di depannya ada sesuatu yang menghalanginya dan
bisa pula tidak ada. Karena konteks seperti ini menunjukkan demikian,
tidak semua orang shalat menghadap sutrah.
- Hadits Ibnu ‘Abbas c:
أَقْبَلْتُ
رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ
الْاِحتِلاَمَ وَرَسولُ اللهِ n يُصَلِّي بِالنَّاسِ بـِمِنًى إِلَى
غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ
وَأَرْسَلْتُ الْأَتاَنَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فيِ الصَّفِّ، فَلَمْ
يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku
datang dengan menunggang keledai betina, saat itu aku menjelang
ihtilam (mimpi basah/baligh) sementara Rasulullah n sedang shalat
mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau.
Lalu aku lewat di hadapan sebagian shaf, setelahnya aku turun dari
keledai tersebut dan aku membiarkannya pergi merumput. Kemudian aku
masuk (bergabung) ke dalam shaf. Tidak ada seorang pun yang mengingkari
perbuatanku tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 493 dan Muslim no. 1124
namun tanpa lafadz: إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ)
Dari
lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan
beliau) dipahami bahwa Rasulullah n shalat tanpa ada sutrah di
hadapannya.
- Hadits Ibnu ‘Abbas c juga, ia berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ n فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi n pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.” (HR. Ahmad 1/224 dan Al-Baihaqi 2/273)
Pendapat yang lain adalah sutrah hukumnya wajib. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah n:
لاَ
تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
“Janganlah
engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan
jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu
menolak (tetap ngotot ingin lewat, –pent.), perangilah karena
bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan
berkata Al-Imam Al-Albani t dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/115:
“Sanadnya jayyid.”)
Demikian
pula perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah untuk
shalat yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar c yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari (no. 494) dan Muslim (no. 1115) dalam Shahih keduanya.
Dan inilah pendapat yang rajih dan menenangkan hati kami. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Adapun dalil yang dipakai oleh jumhur dijawab sebagai berikut:
1.
Hadits Abu Sa’id z yang menunjukkan bahwa seseorang yang shalat
terkadang di hadapannya ada sutrah dan terkadang tidak ada, hal ini
terjawab dengan adanya hadits di atas yang sharih (jelas) yang melarang
shalat tanpa sutrah, dan juga perintah beliau untuk menancapkan tombak
sebagai sutrah.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas c:
وَرَسولُ اللهِ n يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِـمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“Sementara Rasulullah n sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau.”
Tidaklah
menampik kemungkinan beliau shalat menghadap selain tembok/dinding.
Ibnu Daqiqil ‘Id tmenyatakan bahwa tidak adanya tembok/dinding bukan
berarti meniadakan sutrah. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, bab
Al-Murur baina Yadayil Mushalli, hadits no. 109)
Hadits
ini diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari t dengan Bab: Sutrah imam
adalah sutrah bagi makmum/orang yang shalat di belakangnya. Dengan
demikian, berarti Al-Imam Al-Bukhari t tidak memahami tidak adanya
sutrah dari hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t menjelaskan,
“Seakan-akan Al-Bukhari membawa perkara ini pada kebiasaan yang ma’ruf
dilakukan oleh Rasulullah n, yaitu tidaklah beliau melakukan shalat di
tanah lapang melainkan sebuah tombak ada di hadapan beliau (sebagai
sutrahnya).” (Fathul Bari, 1/739)
Di
samping itu, ada perselisihan para rawi yang membawa riwayat dari
Al-Imam Malik t pada lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada
tembok/dinding di hadapan beliau). Ada di antara mereka yang
menyebutkannya dan ada yang tidak. Dan ternyata rawi yang tidak
menyebutkan lafadz ini lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi
kedudukannya dibanding rawi yang menyebutkannya.
Karena
itulah kebanyakan penyusun kitab hadits shahih seperti Al-Imam Muslim,
Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan selainnya, tidak
membawakan lafadz ini. Bahkan Ibnu Khuzaimah t dalam Shahih-nya
mengisyaratkan tidak tsabit (shahih)nya lafadz ini dengan adanya
kepastian bahwa Rasulullah n shalat bersutrah dengan tombak.
(Adh-Dha’ifah oleh Al-Imam Al-Albani, pembicaraan pada hadits 5814)
3. Sedangkan hadits:
صَلَّى النَّبِيُّ n فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi n pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.”
adalah
hadits yang lemah karena dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthah,
seorang rawi yang lemah. Kata Al-Hafizh t dalam Taqrib-nya hal.92, “Ia
adalah rawi yang shaduq, namun banyak salahnya dan melakukan tadlis.”
(Adh-Dha’ifah no. 5814)
Al-Imam
Al-Albani t ketika membantah ucapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus
Sunnah-nya berkata, “Pendapat yang mengatakan sutrah itu mustahab
menentang nash yang berisi perintah shalat di hadapan sutrah yang
disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan dibawakan oleh
penulis (Sayyid Sabiq). Pada sebagian hadits tersebut ada larangan
mengerjakan shalat bila di depan seorang yang shalat tidak ada sutrah.
Ibnu Khuzaimah menjadikan hadits ini sebagai judul bab dalam kitab
Shahih-nya. Beliau dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar c
secara marfu’:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ ...
“Jangan engkau shalat kecuali menghadap sutrah….”
Beliau
t juga berkata, “Termasuk perkara yang menguatkan kewajiban sutrah,
adanya sutrah di hadapan orang yang shalat merupakan sebab syar’i tidak
batalnya shalat orang tersebut dengan lewatnya wanita yang sudah
baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan sutrahnya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya sutrah, orang
yang shalat tersebut berhak menahan orang yang ingin lewat di
hadapannya. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan
sutrah. Al-Imam Asy-Syaukani t dalam Nailul Authar (3/2) dan As-Sailul
Jarar (1/176) memegang pendapat yang mewajibkan sutrah ini. Dan pendapat
ini merupakan dzahir ucapan Ibnu Hazm t dalam Al-Muhalla (4/8-15).”
(Tamamul Minnah, hal. 300)
Mendekat kepada Sutrah
Orang
yang meletakkan sutrah atau menjadikan sesuatu yang ada di hadapannya
sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut agar setan
tidak mengganggu shalatnya. Sebagaimana hal ini diperintahkan
Rasulullah n:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila
salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di
hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak
memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam
Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)2
Yang
dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” adalah agar setan
tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan
menguasainya dalam shalatnya.
Kata
Asy-Syaikh ‘Ali Al-Qari t, “Diambil faedah dari hadits ini bahwa
sutrah dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang
shalat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh
shalatnya dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya
tergantung kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana
penghadapan hatinya kepada Allah l dalam shalatnya. Sementara, tidak
memakai sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang
sedang dihadapinya berupa perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an,
dan dzikir.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/115)
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ n وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak
antara tempat berdirinya Rasulullah n dalam shalatnya3 dengan
tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari
no. 496 dan Muslim no. 1134)
Al-Imam
An-Nawawi t menyatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa merupakan
perkara sunnah seorang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.”
(Al-Minhaj, 4/449)
Salamah ibnul Akwa’ z menyebutkan:
كَانَ جِدَارُ الْـمَسْجِدِ عِنْدَ الْـمِنْبَر، مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوْزُهَا
“Dinding masjid Rasulullah di sisi mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak dapat melewatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 497)
Maksudnya,
jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat, sementara ketika
shalat Rasulullah n berdiri di samping mimbar, karena tidak ada mihrab
dalam masjid beliau. Sehingga, jarak antara beliau dengan dinding sama
dengan jarak antara mimbar dengan dinding, yaitu sekadar hanya bisa
dilewati seekor kambing.
Ibnu
Baththal t berkata, “Ini jarak minimal seseorang yang shalat dengan
sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.” Ada yang
mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi.
(Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni Kitabus Shalah,
fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)
Dalilnya adalah hadits Bilal z:
إِنَّ النَّبِيَّ n صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ ثَلاَثَةُ أَذْرُعٍ
“Sesungguhnya
Nabi n shalat di Ka’bah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga
hasta.” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr t berkata: “Hadits ini diriwayatkan
Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih4
dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan
Al-Istidzkar 6/171)
Ad-Dawudi
ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling
minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga
hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan
bahwa jarak yang awal adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan
jarak yang kedua pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743,
Adz-Dzakhirah, 2/157-158)
Al-Baghawi
t berkata, “Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada
sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar
memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.” (Syarhus
Sunnah, 2/447)
Faedah
Al-Imam
Malik t berkata, “Apabila seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara
tiang masjid ada di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser
ke kanan atau ke kiri mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah,
jika memang tiang itu dekat dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada
di depannya atau di belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke
arah tiang tersebut selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu
jauh, maka dia tetap shalat di tempatnya dan berusaha mencegah segala
sesuatu yang lewat di hadapannya semampunya.” (Al-Mudawwanatul Kubra,
1/202)
Bergeser
seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan
daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. (Adz-Dzakhirah,
2/156). Wallahu a’lam.
Apa Saja yang Bisa Dijadikan Sutrah?
- Tiang masjid
Tiang
yang ada di masjid dapat dijadikan sebagai sutrah sebagaimana
ditunjukkan dalam riwayat berikut. Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata, “Adalah
Salamah ibnul Akwa’ z memilih shalat di sisi tiang masjid tempat
menyimpan mushaf. Maka aku tanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, aku
melihatmu menyengaja memilih shalat di sisi tiang ini.’ Beliau menjawab:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا
“Aku melihat Nabi n memilih shalat di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 502 dan Muslim no. 1136)
- Tongkat yang ditancapkan
Ibnu ‘Umar c memberitakan:
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ
بِالْـحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا
وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah
n bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau
memerintahkan pelayannya untuk membawa tombak lalu ditancapkan di
hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia
menjadi makmum di belakang beliau. Dan beliau juga melakukan hal
tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)
- Hewan tunggangan
Ibnu Umar c mengabarkan perbuatan Nabi n:
أَنَّهُ كَانَ يُعَرِّضُ رَاحِلَتَهُ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا
“Adalah
Nabi n melintangkan hewan tunggangannya (antara beliau dengan kiblat),
lalu shalat menghadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no.
1117)
- Pohon
Sekali
waktu Nabi n shalat menghadap sebuah pohon, sebagaimana ditunjukkan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad t (1/138) dari Ali bin Abi
Thalib z, ia berkata:
لَقَدْ
رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ، وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ
إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ n، فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي إِلَى شَجَرَةٍ
وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ
“Sungguh
aku melihat kami pada malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami
melainkan tertidur kecuali Rasulullah n, beliau sedang mengerjakan
shalat menghadap ke arah sebuah pohon sebagai sutrahnya dan berdoa
hingga pagi hari.” (Al-Imam Al-Albani t berkata: “Sanadnya shahih.”
Lihat Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/120)
- Dinding/tembok
Sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z yang telah
disebutkan ketika membahas tentang mendekat dengan sutrah.
- Tempat tidur
Pada kali yang lain, beliau n menjadikan tempat tidur sebagai sutrahnya sebagaimana berita dari istri beliau, Aisyah x:
لَقَدْ رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيْرِ فَيَجِيْءُ النَّبِيُّ n فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيْرَ فَيُصَلِّي
“Sungguh
aku melihat diriku dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur lalu
Nabi n datang, beliau berdiri menghadap bagian tengah tempat tidur,
kemudian shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 1144)
Dalam lafadz lain, Aisyah x berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ
“Sungguh
aku melihat Nabi n shalat sementara aku berada di antara beliau dan
kiblatnya dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur.” (HR.
Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 1143)
- Benda yang tinggi
Boleh
menjadikan sesuatu yang tinggi semisal mu`khiratur rahl sebagai
sutrah. Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang
pelana hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang
hewan tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta. (Nailul Authar 3/4,
Taudhihul Ahkam, 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)
Aisyah x berkata, “Nabi n pernah ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab:
مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)
Rasulullah n pernah bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Apabila
salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di
hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang
lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)
Tidak Cukup dengan Garis
Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Subulus Salam, 1/227)
Al-Qarafi t mengatakan, “Ini adalah pendapat jumhur fuqaha.” (Adz-Dzakhirah, 2/154)
Walaupun
ada sebagian ahlul ‘ilmi berpandangan garis dapat dijadikan sebagai
sutrah. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/255), Abu Dawud
(no. 689), dan Ibnu Hibban (no. 2369) dari Abu Hurairah z:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ
لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ
عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Apabila
salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di
hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu
hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia
membuat sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di
hadapannya.”
Al-Imam
Al-Albani t berkata dalam Tamamul Minnah, “Hadits ini sanadnya dhaif
tidak shahih. Walaupun orang-orang yang disebutkan oleh penulis Fiqhus
Sunnah (Sayyid Sabiq) menganggapnya shahih. Namun ulama yang lebih
banyak jumlahnya selain mereka telah mendhaifkan hadits ini dan mereka
lebih kuat argumennya. Terlebih lagi adanya perselisihan dalam riwayat
dari Al-Imam Ahmad t tentang permasalahan ini.
Al-Hafizh
t telah menukilkan dalam At-Tahdzib dari Al-Imam Ahmad t, di mana
disebutkan beliau berkata, “Permasalahan garis yang digunakan sebagai
sutrah, haditsnya dhaif.”
Sementara
dalam At-Talkhish, Al-Hafizh t menyebutkan penshahihan Ahmad
sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Abdil Barr t dalam Al-Istidzkar
terhadap hadits di atas, kemudian beliau (Al-Hafizh) berkata, “Sufyan
bin Uyainah, Asy-Syafi`i, Al-Baghawi rahimahumullah dan selain mereka,
telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini.”
Dalam
At-Tahdzib juga disebutkan, “Ad-Daraquthni t berkata, ‘Hadits ini
tidak shahih, tidak tsabit.’ Asy-Syafi`i t berkata dalam Sunan
Harmalah, ‘Seseorang yang shalat tidak cukup membuat garis di depannya
untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang
tsabit.’ Al-Imam Malik t berkata dalam Al-Mudawwanah, ‘Garis yang
digunakan sebagai sutrah adalah batil.’
Dari
kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini adalah Ibnush
Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang
benar karena hadits ini memiliki dua illat (penyakit yang mencacati),
yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan,
terlebih lagi dihukumi shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 300-301)
Al-Qadhi
Iyadh t berdalil dengan hadits mu`khiratur rahl untuk menyatakan garis
di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Al-Ikmal
lil Qadhi Iyadh 2/414)
Faedah
Al-Qarafi
t berkata menukil dari penulis kitab An-Nawadir, bahwa lubang dan
sungai maupun segala sesuatu yang tidak tertancap dengan tegak, seperti
garis misalnya, bukanlah termasuk sutrah.”
0 komentar:
Posting Komentar