Diiringi panjatan do’a dan sanjungan serta pujian hanya bagi Alloh semata atas segala kenikmatan serta ma’unah
(pertolongan) yang tercurah kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari
para hamba-Nya. Kemudian diiringi panjatan sholawat bagi baginda
Rosululloh Muhammad bin Abdulloh, bagi keluarga, para sahabat, serta
seluruh pengikut beliau yang tulus setia meniti jalan hidup beliau dan
menaati ajaran beliau sampai hari kiamat.
Pada majelis kita kali ini kami mengajak sidang pembaca untuk membahas “tiga inti ajaran Islam” yang merupakan salah satu karakteristik Islam yang paling pokok. Kami
berharap semoga dengan mengenal serta mengilmui ketiganya kita bisa
meluruskan pemahaman sekaligus amalan kita sebagai wujud ukhuwwah (persaudaraan) dan kebersamaan di bawah naungan panji agama Islam.
Pertama:
Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Mentauhidkan-Nya
Inti
ajaran Islam pertama adalah berserah diri sepenuh jiwa dan raga hanya
kepada Alloh yang didasari kemurnian tauhid kepada-Nya semata.
“Berserah diri” di sini bermakna menghinakan dan merendahkan diri
disertai ketundukan yang tulus dari setiap hamba kepada penciptanya.
Sehingga secara utuh maknanya seorang hamba berserah diri, patuh lagi
tunduk kepada Alloh untuk meninggikan keesaan-Nya dalam hak-hak
berkehendak dan berbuat yang melazimkan keesaan-Nya dalam hak-hak
peribadahan. Inilah hakikat mentauhidkan Alloh, yaitu yang disebut
tauhid ibadah, bermakna diunjukkannya seluruh peribadahan hamba hanya
kepada-Nya semata.
Ketahuilah,
mentauhidkan Alloh dengan seluruh peribadahan merupakan hal yang
paling besar dalam ajaran Islam. Keagungan peribadahan ini tersirat
dari penyebutannya di dalam Kitabulloh (al-Qur’an) dan dalam
hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia merupakan
perintah Alloh yang pertama dan seruan awal para rosul utusan-Nya kepada
manusia, bahkan para rosul itu diutus demi tujuan tauhid ibadah
tersebut.[1] Demikian juga tidaklah didapati fi’il[2] yang pertama kali disebutkan dalam al-Qur’an selain peribadahan kepada-Nya[3]. Dan tidaklah Alloh memerintah manusia dengan fi’il amr[4] yang pertama kali disebutkan di dalam al-Qur’an selain fi’il amr untuk beribadah kepada-Nya[5].
Ini hanya sebagian hikmah Alloh yang mengisyaratkan pada keutamaan
ketundukan seorang hamba dengan tauhid ibadah kepada-Nya semata.
Alloh menyebutkan bahwa tauhid adalah millah[6]
Nabi Ibrohim alaihis salam, dan kita diwajibkan untuk menitinya.
Sebagaimana Alloh menyebutkan teladan dalam berserah diri kepada-Nya
pada diri Nabi Ibrohim dan anak-anak serta pengikutnya sehingga kita
harus meneladaninya dan tidak membencinya.[7]
Berserah
diri, tunduk, dan merendah yang dilakukan oleh seorang muslim
merupakan kewajiban yang telah diperintahkan untuk senantiasa dilakukan
selama hayat masih dikandung badan[8],
dan dia harus melakukan seluruh ritual peribadahannya kepada Alloh
disebabkan cinta dan rindunya yang mendalam kepada-Nya. Sebagaimana dia
harus merendahkan diri serta menundukkan keangkuhannya di hadapan Alloh
dengan harapan yang tinggi lagi besar kepada ridho dan rohmat-Nya
serta dengan perasaan takut, cemas, dan khawatir akan murka dan
siksa-Nya. Alloh telah berfirman:
Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan
harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (QS. al-Anbiya’ [21]: 90)
Dalam
ayat di atas disebutkan bahwa berserah dirinya seorang muslim kepada
Alloh harus terwujud dalam bentuk amalan sholih dan kebaikan yang
didasari keikhlasan hanya kepada-Nya semata. Itulah sesungguhnya
hakikat khusyu’, yaitu sikap merendah seorang hamba di hadapan
penciptanya yang ia yakin akan kebesaran dzat-Nya dan ketinggian serta
keagungan sifat-Nya.
Nampak
jelaslah bahwa berserah diri kepada Alloh yang dimaksudkan di sini
tidak sama dengan berserah diri kepada taqdir; bila seseorang telah
menerima taqdir Alloh—apapun bentuk dan cita rasanya—maka berarti ia
telah berserah diri kepada-Nya. Bukan itu maksudnya! Akan tetapi,
seseorang dikatakan telah berserah diri kepada Alloh bila ia telah
mencurahkan waktu, daya, dan upayanya untuk beramal ibadah kepada Alloh
semata, bahkan selama hayat masih dikandung badan ia harus
melakukannya. Maka pahamilah wahai kaum!
Kedua:
Mewujudkan Ketaatan Atas Segala Perintah Alloh dan Menjauhi Larangan-Nya
Mengapa
Islam memerintahkan manusia untuk taat kepada perintah Alloh dan
Rosul-Nya, apa faedah yang akan didapati oleh mereka yang taat, apa
pula celakanya bila mereka tidak taat? Pertanyaan seperti ini mungkin
yang sering menutupi fithroh suci setiap orang yang enggan untuk taat.
Ada
satu hal yang harus selalu kita ingat, yaitu bahwa Alloh telah
mengutus para rosul kepada seluruh umat, bahkan tiada suatu umat pun
melainkan Alloh telah mengutus kepada mereka seorang rosul. Alloh juga
menyebutkan tujuan diutusnya mereka guna menyampaikan kabar gembira
sekaligus peringatan serta ancaman. Alloh berfirman:
Sesungguhnya
Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umat pun
melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS. Fathir [35]: 24)
Kabar
gembira dan peringatan tersebut disampaikan kepada seluruh umat ini,
yaitu kabar gembira bagi umat yang taat dan peringatan serta ancaman
bagi mereka-mereka yang enggan.
Ketahuilah,
ketaatan apapun yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah
untuk kebaikan diri mereka sendiri dan bukan untuk membahagiakan Alloh
dengan ditaati-Nya.[9]
Sungguh, ketaatan manusia kepada Alloh dan rosul-Nya merupakan
kebutuhan asasi disebabkan butuhnya mereka kepada rohmat Alloh,
penciptanya. Oleh sebab itu, Alloh memerintahkan manusia untuk taat
kepada-Nya dan taat kepada rosul-Nya, yaitu agar mereka dirohmati oleh
Robb seru sekalian alam. Ini adalah sebagian kabar gembira yang dibawa
oleh para rosul. Alloh berfirman:
Dan taatilah Alloh dan rosul, supaya kamu diberi rohmat. (QS. Ali Imron [3]: 132)
Telah
kita ketahui bahwa Alloh telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam kepada kita—sebagai umat terakhir—sebagaimana Dia pun
telah menurunkan al-Qur’an bersama beliau. Seperti halnya para rosul
sebelum beliau, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun diutus
dengan membawa kabar gembira sekaligus peringatan bagi kita.[10] Maka perhatikanlah firman Alloh sebagai kabar gembira bagi kaum yang taat (yang artinya):
…
barangsiapa taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, niscaya Alloh
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (QS. an-Nisa’ [4]: 13)
Di dalam ayat selanjutnya Alloh berfirman tentang ancaman bagi mereka-mereka yang lalim lagi durhaka (yang artinya):
Dan
barangsiapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. an-Nisa’ [4]: 14)
Mungkin
ada yang mengatakan ancaman tersebut sekedar ancaman, sebagaimana
kabar gembira itu hanya sekedar janji. Aduhai, sungguh besar kecelakaan
dan sungguh gelap jalan mereka, yakinlah bahwa tiada seorang pun yang
mengatakan demikian melainkan ia sangat jahil bahkan telah tersesat di
lembah hitam kekufuran.
Sudahkah
mereka belajar dari umat-umat yang terdahulu? Sudahkah mereka tahu
bahwa Alloh pun telah memerintahkan supaya kita mengambil pelajaran
dari umat-umat yang terdahulu?[11]
Ingatlah
kesudahan kaum ‘Ad yang mengerikan, mengapa angin yang sangat dingin
lagi sangat kencang menerpa mereka selama tujuh hari delapan malam
sehingga mereka binasa sama sekali dan tidak menyisakan seorang pun?
Ingatlah kesudahan kaum Tsamud yang celaka, mengapa petir yang sangat
besar dengan suara mengguntur yang memekakkan lagi mematikan
membinasakan mereka? Ingatlah pula kesudahan kaum Nabi Luth alaihis
salam yang menjijikkan, gerangan apa sebabnya negeri tempat tinggal
mereka dibalikkan sedangkan hujan batu yang panas membakar menerpa
mereka hingga binasa? Sejarah telah menjadi saksi bahwa kaum ‘Ad telah
durhaka kepada Nabi Hud alaihis salam, kaum Tsamud tidak taat kepada
Nabi Sholih alaihis salam, sementara kaum Nabi Luth alaihis salam enggan
dan berpaling dari seruan beliau.[12]
Ingatlah
juga kapal penyelamat Nabi Nuh alaihis salam, bagaimana air telah
menenggelamkan seluruh manusia dan tiada tersisa seorang pun di muka
bumi ini selain yang taat mengikuti Nabi Nuh alaihis salam dan
menumpang di atas kapal yang Alloh perintahkan Nabi Nuh alaihis salam
untuk membuatnya?[13] Sungguh ini adalah keterangan yang nyata, maka ambillah pelajaran wahai kaum![14] Akankah kesombonganmu tetap mengalahkan fithrohmu?
Maka
jelaslah bahwa hanya mereka yang enggan taat lantaran sombonglah yang
menolak kejelasan perkara yang terang-benderang—laksana matahari di
siang hari—ini. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan
kejelasan masalah ini dalam sabda beliau:
“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan!” Para
sahabat bertanya: “Siapa orang yang enggan (masuk surga), wahai
Rosululloh?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang taat kepadaku niscaya
akan masuk surga, dan siapa saja yang mendurhakaiku dialah orang yang
enggan (masuk surga).” Dalam riwayat lain beliau bersabda: “… dan siapa
saja yang mendurhakaiku niscaya akan masuk neraka.”[15]
Setelah
semuanya jelas, kini ketahuilah bahwa “ketaatan” itu disebut
“ketaatan” apabila berupa ketekunan melaksanakan perintah seiring dengan
senantiasa waspada untuk meninggalkan larangan. Bila seseorang hanya
melaksanakan perintah saja, dia masih belum dikatakan taat sehingga dia
juga meninggalkan larangan. Demikian juga, bila seseorang hanya
meninggalkan larangan namun tidak melaksanakan perintah tidaklah disebut
orang yang taat sehingga dia menegakkan perintah-perintah.
Ketahuilah
bahwa perintah yang paling awal, paling agung, dan paling utama adalah
mentauhidkan Alloh dengan seluruh peribadahan sebagaimana hal ini
telah jelas pada inti ajaran Islam yang pertama. Sebaliknya, larangan
yang paling besar dan paling utama untuk ditinggalkan adalah menduakan
Alloh dengan makhluk-Nya sebagai pemilik hak peribadahan, ialah dosa
syirik, mempersekutukan Alloh dengan makhluk-Nya. Maka ketaatan seorang
muslim yang paling utama ialah ia mengesakan Alloh dengan seluruh
macam ibadah seiring dengan ia tinggalkan kesyirikan serta para
pelakunya. Lebih lanjut hal ini akan kita pahami pada inti ajaran Islam
yang ketiga berikut ini.
Ketiga:
Berlepas Diri dari Kesyirikan dan Pelakunya
Kewajiban
awal bagi setiap muslim adalah bertauhid yang murni lagi tulus seiring
dengan berlepas diri dan cuci tangan dari kesyirikan. Perhatikanlah
apa yang telah Alloh perintahkan dan dari apa yang kita dilarang-Nya
dalam ayat berikut:
Ibadahilah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun…. (QS. an-Nisa’ [4]: 36)
Di
sini Alloh subhanahu wata’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk
beribadah kepada-Nya dan melarang mereka dari mempersekutukan-Nya. Hal
ini mengandung penetapan hak peribadahan hanya bagi-Nya semata. Sehingga
siapa yang tidak beribadah kepada-Nya maka ia kafir lagi congkak, dan
siapa yang beribadah kepada Alloh disertai peribadahan kepada
selain-Nya maka ia kafir lagi musyrik, sedangkan siapa saja yang hanya
beribadah kepada-Nya semata ialah muslim yang mukhlish.[16]
Ketahuilah,
berlepas diri dari kesyirikan itu mengharuskan berlepas diri dari para
pelakunya. Tatkala seseorang berusaha menyucikan diri dari kesyirikan
maka usahanya itu mengharuskannya membersihkan diri dari hubungan baik
dengan para pelaku kesyirikan di atas kesyirikan mereka. Sungguh Alloh
telah menunjuk teladan yang baik dalam masalah ini pada diri Nabi
Ibrohim alaihis salam dan kaumnya.[17]
Akhirnya, semoga Alloh menuntun kita semua meniti jalan-Nya yang lurus dalam ber-Islam yang sesuai dengan kehendak-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar